Paradigma Panggung Pembelajaran di Tengah Pandemi Covid-19

Paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisi apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial dan epistimologis yang panjang (Mulyana, 2003: 9).




Mengingat bahwa pendidikan merupakan fundamental bagi para generasi bangsa, pendidikan adalah salah satu bentuk upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan potensi serta mencerdaskan bangsa. Seperti yang telah ditetapkan, tujuan pendidikan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 ayat 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional merupakan upaya dalam mengembangkan kemampuan peserta didik agar menjadi pribadi yang beriman serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jenis-jenis serta fungsi dalam dunia pendidikan tidak dapat dipisahkan. Dalam pendidikan, terbagi atas tiga jenis yakni pendidikan formal (SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi), Informal (keluarga), dan nonformal (masyarakat/pendidikan diluar sekolah).

Sedangkan berbicara mengenai fungsi dari pendidikan tidak terlepas dari pendidikan sebagai memanusiakan manusia. Nah, teori mengenai memanusiakan manusia muda atau dikenal dengan istilah homonisasi dan humanisasi merupakan sebuah rumusan filsafat pendidikan Driyarkara. Homonisasi dan humanisasi merupakan suatu proses dalam memanusiakan manusia muda. Mengapa hanya manusia muda saja? Seperti yang telah diketahui bersama, manusia muda adalah manusia yang memiliki batas awal dan batas akhir usia. Seperti halnya pendidika menurut Driyarkara mendidik merupakan proses membentuk manusia muda agar menjadi komponen yang utuh dan menjadi sebuah integrasi. Dalam prosesnya, manusia dapat mencapai perkembangan lebih jauh, merealisasikan dirinya dalam laju ilmu pengetahuan dan budaya.

Terdapat beberapa perbedaan dalam proses pendidikan paradigma baru dan paradigma lama. Pada paradigma lama,menekankan peranan siswa yang aktif dalam belajar dibandingkan guru yang mengajar. Namun, upaya-upaya tersebut tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan. Jika guru menekankan pendekatan mengajar yang sama persis (berlandaskan pengalaman mengajar) sistem pembelajaran yang biasanya telah mengalami perombakan (proses pembelajaran sesuai dengan kurikulum), kemungkinan tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan dari siswa tidak tercapai. Sedangkan dalam Pendidikan dengan era paradigma baru membangun potensi masyarakat yang terdidik, pola pemikiran masyarakat berintelektual, mau atau tidak harus ada perubahan paradigma dan sistem pendidikan dengan model baru.

Pendidikan dengan menggunakan paradigma baru di Indonesia akan menjadi lebih baik bergantung pada cara konsep manusia dengan tujuan hidup dan menganalisis tantangan zaman sekarang. Menurut Mastuhu, manusia merupakan makhluk yang dapat melampaui makhluk lainnya sesama, karena manusia memiliki tiga sifat utama yang tidak dimiliki oleh makhluk lain: kesadaran, kebebasan, serta berpikir dan berkreasi. Pada era globalisasi sekarang Indonesia melakukan transformasi dalam proses pendidikannya, dengan menciptakan sistem pendidikan yang lebih inovatif, komprehensif dan fleksibel, sehingga para alumni lembaga pendidikan dapat difungsikan secara efektif dalam masyarakat global yang demokratis (Hasna, 2012: 134).

Selanjutnya untuk mencapai keefektivitas hasil belajar peserta didik, baik saat belajar di sekolah maupun belajar di rumah seperti sekarang ini. Maka tugas pendidik adalah dengan menciptakan ketiga ranah penting (kognitif, psikomotorik, dan afektif) yang diharapkan dapat tetap diterapkan secara efektif dalam proses pembelajarannya. Ranah kognitif menyangkut hal yang berhubungan dengan kegiatan mental berpikir peserta didik (intelektual). Ranah psikomotorik lebih berorientasi kepada hal tindakan atau reaksi atau perilaku yang dilakukan peserta didik. Sedangkan ranah afektif lebih merujuk kepada perasaan, tingkat emosi, serta tinggi rendahnya variasi penerimaan dan penolakan terhadap suatu hal.

Bentuk pembelajaran di rumah yang diharapkan tetap berada dijalurnya adalah bentuk pembelajaran yang tetap menjunjung tinggi nilai pendidikan di dalamnya, meskipun tidak secara langsung namun diharapkan dapat membentuk karakter diri peserta didik yang tidak melenceng dari proses pembelajaran secara langsung. Pemberian tugas yang terlalu banyak dan tidak dipahami siswa serta terkesan menjadi beban yang berlebihan bagi para peserta didik diharapkan dapat diminimalisir oleh pendidik atau pengajar. Agar beberapa kasus negatif yang masih bertemakan pembelajaran daring tidak mencapai angka yang melonjak drastis. Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi yakni seorang bocah yang meninggal karena meminum racun akibat stres menjalani sekolah online. Hal tersebut perlu dijadikan sebagai cermin untuk membenahi lebih baik lagi tentang pembelajaran daring, agar minat serta keefetifitasan dalam belajar tetap dapat dipertahankan keektensistensiannya.

Dalam pengajaran, pelatihan, dan pembimbingan yang ada di sekolah dan di rumah tentu memiliki perbedaan. Perbedaan antara pengajaran, pelatihan dan pembimbubgan di sekolah dan rumah yaitu;

1. Perbedaan pengajaran di sekolah dan di rumah
– Pengajaran dari sekolah lebih didominasi oleh ide dan gagasan-gagasan suatu teori. Pengajaran dalam sekolah lazim kita temukan didalam ruangan dengan fasilitas yang memumpuni.
– Sedangkan pengajaran didalam rumah cenderung tidak memiliki jadwal yang menjadi suatu ketentuan yang paten. Juga fasilitas kadang tidak memungkinkan.

2. Perbedaan pelatihan di sekolah dan di rumah
– Pelatihan dari sekolah merupakan uji coba atau dikenal sebagai praktek lapangan untuk menguji dan melatih teori dan analisis dalam praktek. Pelatihan dari sekolah memakai mekanisme-mekanisme yang terstruktur dan sistematis untuk menggali potensi diri dan optimal.
– Pelatihan dari rumah cenderung memakai metode yang bebas. Artinya media yang digunakan relatif berubah. Namun pelatihan dari rumah lebih unggul dari segi pendalaman sebab tidak memakai ukuran waktu tenggat pelatihan.

3. Perbedaan pembimbingan di sekolah dan di rumah
– Bimbingan dari sekolah memakai sistem studi fokus untuk menggali potensi objektif dari kemampuan pelajar. Bimbingan dari sekolah lazimnya digunakan setelah uji praktek dari siswa, sehingga kemampuan pelajar mampu diukur sebagai tonggak objek yang akan menjadi kemampuannya nanti.
– Bimbingan dari rumah dilakukan oleh orangtua dan juga keluarga lainnya. Kelebihan dan kekurangan dari bimbingan belajar rumah yaitu penekanan cenderung tidak ada sebagai intervensi terhadap diri yang berimbas pada kesehatan mental pelajar. Namun kekurangannya ada pada lingkungan yang tidak terlalu memahami potensi dari kelebihan seorang pelajar.

Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa, antara manusia dan pendidikan keduanya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu, sebagai manusia yang berhomonisasi dan berhumanisasi maka memiliki sebuah pendidikan yang layak dan tinggi adalah hal yang penting untuk ditempuh dan diusahakan.

Bila kita mendalami UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 tentang sisdiknas kita akan menemukan sumber nilai yang dapat dijadikan ukuran bermutu tidaknya program pendidikan. Kutipannya sebagai berikut:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Dijelaskan bahwa hanya “proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya yang dapat dipandang bermutu. Karena tanpa proses pendidikan yang demikian tidak mungkin dapat mendukung fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Dapat disimpulkan bahwa hanya pendidikan yang bermutu, yaitu yang mampu mengembangkan kompetensi dan membentuk wataklah yang relevan dengan upaya menghadapi tantangan jaman.
Tadi sudah dijawab masalah apa indikator pendidikan dikatakan bermutu. Kemudian muncul lagi pertanyaan, model pembelajaran seperti apa yang dapat bermakna sebagai proses pembudayaan? Dalam kaitan menjawab pertanyaan ini Unesco, melalui International Commission on Education for The 21st century, mengusulkan empat pilar belajar. Menerapkan empat pilar belajar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang diperoleh dan berinteraksi dengan sesame peserta didik sehingga menemukan dirinya.
Berikut penjelasan masing-masing pilar tersebut:

Learning to Know
Pada hakekatnya adalah proses pembelajaran yang memungkinkan pelajar/mahasiswa menguasai teknik memperoleh pengetahuan dan bukan semata-mata memperoleh pengetahuan. Atau dengan kata lain, peserta didik dimungkinkan untuk terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji.

Learning to Do
Pada sasarannya adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industry. Dalam masyarakat industry tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan ketrampilan motorik yang kaku melainkan diperlukan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti mengontrol, memonitor, merakit, merancang, dan mengorganising.

Learning to Live Together
Intinya adalah, bagaimana peserta didik itu dapat bergaul/bersosialisasi dengan masyarakat disekitarnya. Menerapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk kemajuan lingkungan tempat tinggalnya.

Learning to Be
Pada hakekatnya adalah manusia yang bisa menjadi dirinya sendirihasil dari belajar untuk mengenal, belajar melakukan dan belajar bergaul dengan lingkungannya.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form